Isra’
mi’raj bukanlah kisah perjalanan antariksa. Aspek astronomis sama sekali tidak
ada dalam kajian Isra’ mi’raj. Namun, Isra’ mi’raj mengusik keingintahuan akal
manusia untuk mencari penjelasan ilmu. Aspek aqidah dan ibadah berintegrasi
dengan aspek ilmiah dalam membahas Isra’ mi’raj. Inspirasi saintifik Isra’
Mi’raj mendorong kita untuk berfikir mengintegrasikan sains dalam aqidah dan
ibadah.
Mari
kita mendudukkan masalah Isra’ mi’raj sebagai mana adanya yang diceritakan di
dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih. Kemudian sekilas kita ulas
kesalahpahaman yang sering terjadi dalam mengaitkan Isra’ mi’raj dengan kajian
astronomi. Hal yang juga penting dalam mengambil hikmah peringatan Isra’ mi’raj
adalah menggali inspirasi saintifik yang mengintegrasikan sains dalam
memperkuat aqidah dan menyempurnakan ibadah.
Kisah
dalam Al-Qur’an dan Hadits
Di
dalam QS. Al-Isra’:1 Allah menjelaskan tentang Isra’: “Maha Suci Allah,
yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW) pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar
Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dan
tentang mi’raj Allah menjelaskan dalam QS. An-Najm:13-18: “Dan
sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya
yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul
Muntaha) ada surga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha
diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang
dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat
sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.”
Sidratul
muntaha secara harfiah berarti ‘tumbuhan sidrah yang tak terlampaui’, suatu
perlambang batas yang tak seorang manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui
lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu.
Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur’an dan hadits yang menerangkan apa, di
mana, dan bagaimana sidratul muntaha itu.
Kejadian-kejadian
sekitar Isra’ dan mi’raj dijelaskan di dalam hadits-hadits nabi. Dari
hadits-hadits yang shahih, didapati rangkaian kisah-kisah berikut. Suatu hari
malaikat Jibril datang dan membawa Nabi, lalu dibedahnya dada Nabi dan
dibersihkannya hatinya, diisinya dengan iman dan hikmah.
Kemudian
didatangkan Buraq, ‘binatang’ berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan
mata. Dengan Buraq itu Nabi melakukan Isra’ dari Masjidil Haram di Mekkah ke
Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina. Nabi SAW shalat dua rakaat di
Baitul Maqdis, lalu dibawakan oleh Jibril segelas khamr (minuman keras) dan
segelas susu; Nabi SAW memilih susu. Kata malaikat Jibril, “Engkau dalam
kesucian, sekiranya kau pilih khamr, sesatlah umat engkau.”
Dengan
Buraq pula Nabi SAW melanjutkan perjalanan memasuki langit dunia. Di sana
dijumpainya Nabi Adam yang di kanannya berjejer para ruh ahli surga dan di
kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke
tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ke tiga
ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu
dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi
Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya Baitul Ma’mur, tempat
70.000 malaikat shalat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya
dan tak akan pernah masuk lagi.
Perjalanan
dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam
(‘pena’). Dari sidratul muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai
non-fisik (bathin) di surga, dua sungai fisik (dhahir) di dunia: sungai
Efrat dan sungai Nil. Lalu Jibril membawa tiga gelas berisi khamr, susu, dan
madu, dipilihnya susu. Jibril pun berkomentar, “Itulah (perlambang) fitrah
(kesucian) engkau dan umat engkau.” Jibril mengajak Nabi melihat surga yang
indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur’an surat An-Najm. Di Sidratul
Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang sebenarnya.
Puncak
dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah shalat wajib. Mulanya
diwajibkan shalat lima puluh kali sehari-semalam. Atas saran Nabi Musa, Nabi
SAW meminta keringanan dan diberinya pengurangan sepuluh-sepuluh setiap
meminta. Akhirnya diwajibkan lima kali sehari semalam. Nabi enggan meminta
keringanan lagi, “Aku telah meminta keringanan kepada Tuhanku, kini saya rela
dan menyerah.” Maka Allah berfirman, “Itulah fardhu-Ku dan Aku telah
meringankannya atas hamba-Ku.”
Urutan
kejadian sejak melihat Baitul Ma’mur sampai menerima perintah shalat tidak sama
dalam beberapa hadits, mungkin menunjukkan kejadian-kejadian itu serempak
dialami Nabi. Dalam kisah itu, hal yang fisik (zhahir) dan non-fisik (bathin)
bersatu dan perlambang pun terdapat di dalamnya. Nabi SAW yang pergi dengan
jasad fisik hingga bisa shalat di Masjidil Aqsha dan memilih susu yang
ditawarkan Jibril, tetapi mengalami hal-hal non-fisik, seperti pertemuan dengan
para Nabi yang telah wafat jauh sebelum kelahiran Nabi SAW dan pergi sampai ke
surga. Juga ditunjukkan dua sungai non-fisik di surga dan dua sungai fisik di
dunia. Dijelaskannya makna perlambang pemilihan susu oleh Nabi Muhammad SAW,
dan menolak khamr atau madu. Ini benar-benar ujian keimanan, bagi orang mukmin
semua kejadian itu benar diyakini terjadinya. Allah Maha Kuasa atas segalanya.
“Dan
(ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: “Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu
meliputi segala manusia”. Dan Kami tidak menjadikan pemandangan yang telah Kami
perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia….” (QS.
17:60).
“Ketika
orang-orang Quraisy tak mempercayai aku (kata Nabi SAW), aku berdiri di Hijr
(menjawab berbagai pertanyaan mereka). Lalu Allah menampakkan kepada saya
Baitul Maqdis, aku dapatkan apa yang aku inginkan dan aku jelaskan kepada
mereka tanda-tandanya, aku memperhatikannya….” (HR. Bukhari, Muslim, dan
lainnya).
Hakikat
Tujuh Langit
Peristiwa
Isra’ mi’raj yang menyebut-nyebut tujuh langit mau tak mau mengusik
keingintahuan kita akan hakikat langit, khususnya berkaitan dengan tujuh langit
yang juga sering disebut-sebut dalam Al-Qur’an. Bila kita dengar kata
langit, yang terbayang adalah kubah biru yang melingkupi bumi kita. Benarkah
yang dimaksud langit itu lapisan biru di atas sana dan berlapis-lapis sebanyak
tujuh lapisan?
Warna
biru hanyalah semu, yang dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari
oleh partikel-partikel atmosfir. Langit (samaa’ atau samawat) berarti segala
yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi,
bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang
melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak ada.
Bilangan
‘tujuh’ sendiri dalam beberapa hal di Al-Qur’an tidak selalu
menyatakan hitungan eksak dalam sistem desimal. Di
dalam Al-Qur’an ungkapan ‘tujuh’ atau ‘tujuh puluh’ sering mengacu
pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al-Baqarah:261 Allah
menjanjikan: “Siapa yang menafkahkan hartanya di
jalan Allah ibarat menanam sebiji benih yang
menumbuhkan tujuh tangkai yang
masing-masingnya berbuah
seratus butir. Allah melipatgandakan pahala
orang-orang yang dikehendakinya….” Juga di dalam Q.S. Luqman:27: “Jika seandainya
semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi
tintanya dan ditambahkan tujuh lautan lagi, maka tak akan habis
Kalimat Allah….” Jadi ‘tujuh langit’ lebih mengena bila
difahamkan sebagai tatanan benda-benda langit yang tak
terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.
Lalu,
apa hakikatnya langit dunia, langit ke dua, langit ke tiga, … sampai langit ke
tujuh dalam kisah Isra’ mi’raj? Mungkin ada orang mengada-ada penafsiran,
mengaitkan dengan astronomi. Para penafsir dulu ada yang berpendapat bulan di
langit pertama, matahari di langit ke empat, dan planet-planet lain di
lapisan lainnya. Kini ada sembilan planet yang sudah diketahui, lebih dari
tujuh. Tetapi, mungkin masih ada orang yang ingin mereka-reka. Kebetulan, dari
jumlah planet yang sampai saat ini kita ketahui, dua planet dekat matahari
(Merkurius dan Venus), tujuh lainnya –termasuk bumi– mengorbit jauh dari
matahari.
Pengertian
langit dalam kisah Isra’ mi’raj bukanlah pengertian langit secara fisik.
Karena, fenomena yang diceritakan Nabi pun bukan fenomena fisik, seperti
perjumpaan dengan para Nabi yang hakikatnya telah wafat. Langit dan Sidratul
Muntaha dalam kisah Isra’ mi’raj adalah alam ghaib yang tak bisa kita ketahui
hakikatnya dengan keterbatasan ilmu manusia. Hanya Rasulullah SAW yang
berkesempatan mengetahuinya. Isra’ mi’raj adalah mukjizat yang hanya diberikan
Allah kepada Nabi Muhammad SAW.
Perjalanan
Keluar Dimensi Ruang Waktu
Isra’
mi’raj jelas bukan perjalanan seperti dengan pesawat terbang antarnegara dari
Mekkah ke Palestina dan penerbangan antariksa dari Masjidil Aqsha ke langit ke
tujuh lalu ke Sidratul Muntaha. Isra’ Mi’raj adalah perjalanan keluar dari
dimensi ruang waktu. Tentang caranya, iptek tidak dapat menjelaskan. Tetapi
bahwa Rasulullah SAW melakukan perjalanan keluar ruang waktu, dan bukan dalam
keadaan mimpi, adalah logika yang bisa menjelaskan beberapa kejadian yang
diceritakan dalam hadits shahih. Penjelasan perjalanan keluar dimensi ruang
waktu setidaknya untuk memperkuat keimanan bahwa itu sesuatu yang lazim
ditinjau dari segi sains, tanpa harus mempertentangkannya dan menganggapnya
sebagai suatu kisah yang hanya dapat dipercaya saja dengan iman.
Kita
hidup di alam yang di batas oleh dimensi ruang-waktu (tiga dimensi ruang
–mudahnya kita sebut panjang, lebar, dan tinggi –, serta satu dimensi waktu ).
Sehingga kita selalu memikirkan soal jarak dan waktu. Dalam kisah Isra’ mi’raj,
Rasulullah bersama Jibril dengan wahana “Buraq” keluar dari dimensi ruang,
sehingga dengan sekejap sudah berada di Masjidil Aqsha. Rasul bukan bermimpi
karena dapat menjelaskan secara detail tentang masjid Aqsha dan tentang kafilah
yang masih dalam perjalanan. Rasul juga keluar dari dimensi waktu sehingga
dapat menembus masa lalu dengan menemui beberapa Nabi. Di langit pertama
(langit dunia) sampai langit tujuh berturut-turut bertemu (1) Nabi Adam, (2)
Nabi Isa dan Nabi Yahya, (3) Nabi Yusuf, (4) Nabi Idris, (5) Nabi Harun, (6)
Nabi Musa, dan (7) Nabi Ibrahim. Rasulullah SAW juga ditunjukkan surga dan
neraka, suatu alam yang mungkin berada di masa depan, mungkin juga sudah ada
masa sekarang sampai setelah kiamat nanti.
Sekadar
analogi sederhana perjalanan keluar dimensi ruang waktu adalah seperti kita
pergi ke alam lain yang dimensinya lebih besar. Sekadar ilustrasi, dimensi 1
adalah garis, dimensi 2 adalah bidang, dimensi 3 adalah ruang. Alam dua dimensi
(bidang) dengan mudah menggambarkan alam satu dimensi (garis). Demikian juga
alam tiga dimensi (ruang) dengan mudah menggambarkan alam dua dimensi (bidang).
Tetapi dimensi rendah tidak akan sempurna menggambarkan dimensi yang lebih
tinggi. Kotak berdimensi tiga tidak tampak sempurna bila digambarkan di bidang
yang berdimensi dua.
Sekarang
bayangkan ada alam berdimensi dua (bidang) berbentuk U. Makhluk di alam “U”
itu bila akan berjalan dari ujung satu ke ujung lainnya perlu menempuh jarak
jauh. Kita yang berada di alam yang berdimensi lebih tinggi dengan mudah
memindahkannya dari satu ujung ke ujung lainnya dengan mengangkat makhluk itu
keluar dari dimensi dua, tanpa perlu berkeliling menyusuri lengkungan “U”.
Alam
malaikat (juga jin) bisa jadi berdimensi lebih tinggi dari dimensi ruang waktu,
sehingga bagi mereka tidak ada lagi masalah jarak dan waktu. Karena itu mereka
bisa melihat kita, tetapi kita tidak bisa melihat mereka. Ibaratnya dimensi dua
tidak dapat menggambarkan dimensi tiga, tetapi sebaliknya dimensi tiga mudah
saja menggambarkan dimensi dua. Bukankah isyarat di dalam Al-Quran dan Hadits
juga menunjukkan hal itu. Malaikat dan jin tidak diberikan batas waktu umur,
sehingga seolah tidak ada kematian bagi mereka. Mereka pun bisa berada di
berbagai tempat karena tak di batas oleh ruang.
Rasulullah
bersama Jibril diajak ke dimensi malaikat, sehingga Rasulullah dapat melihat
Jibril dalam bentuk aslinya (baca QS 53:13-18). Rasul pun dengan mudah
pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya, tanpa terikat ruang dan waktu.
Langit dalam konteks Isra’ Mi’raj pun bukanlah langit fisik berupa planet atau
bintang, tetapi suatu dimensi tinggi. Langit memang bermakna sesuatu di atas
kita, dalam arti fisik maupun non-fisik.
Sains
Terintegrasi dengan Aqidah dan Ibadah
Bagaimanapun
ilmu manusia tak mungkin bisa menjabarkan hakikat perjalanan Isra’ mi’raj.
Allah hanya memberikan ilmu kepada manusia sedikit sekali (QS. Al-Isra: 85).
Hanya dengan iman kita mempercayai bahwa Isra’ mi’raj benar-benar terjadi dan
dilakukan oleh Rasulullah SAW. Rupanya, begitulah rencana Allah menguji
keimanan hamba-hamba-Nya (QS. Al-Isra:60) dan menyampaikan perintah shalat
wajib secara langsung kepada Rasulullah SAW.
“…dan
(ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: ‘Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu
meliputi segala manusia’ dan Kami tidak menjadikan penglihatan (saat Isra’
mi’raj) yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi
manusia …”
Pemahaman
dengan pendekatan konsep ekstra dimensi sekadar pendekatan sains untuk
merasionalkan konsep aqidah terkait Isra’ mi’raj, walau belum tentu tepat.
Tetapi upaya pendekatan saintifik sering dipakai sebagai dalil aqli (akal)
untuk memperkuat keyakinan dalam aqidah Islam. Sains seharusnya tidak
kontradiktif dengan aqidah dan aqidah bukan hal yang bersifat dogmatis semata,
tetapi memungkinkan dicerna dengan akal. Mengintegrasikan sains dalam memahami
aqidah dapat menghapuskan dikotomi aqidah dan sains, karena Islam mengajarkan
bahwa kajian sains tentang ayat-ayat kauniyah tak terpisahkan dari pemaknaan
aqidah.
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya
Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau,
Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS 3:190-191).
Pada
sisi lain Isra’ mi’raj mengajarkan makna mendalam dalam hal ibadah. Makna
penting Isra’ mi’raj bagi umat Islam ada pada keistimewaan penyampaian perintah
shalat wajib lima waktu. Ini menunjukkan kekhususan shalat sebagai ibadah utama
dalam Islam. Shalat mesti dilakukan oleh setiap Muslim, baik dia kaya maupun
miskin, dia sehat maupun sakit. Ini berbeda dari ibadah zakat yang hanya
dilakukan oleh orang-orang yang mampu secara ekonomi, atau puasa bagi yang kuat
fisiknya, atau haji bagi yang sehat badannya dan mampu keuangannya.
Shalat
lima kali sehari semalam yang didistribusikan di sela-sela kesibukan aktivitas
kehidupan, mestinya mampu membersihkan diri dan jiwa setiap Muslim. Allah
mengingatkan:
“Bacalah
apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan)
keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat)
adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.
Al-Ankabut:45).
Isra’
dan mi’raj juga memberikan inspirasi untuk merenungi makna ibadah shalat,
termasuk aspek saintifiknya. Umat Islam telah membuktikan bahwa sains pun bisa
diintegrasikan dalam urusan ibadah, untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah.
Demi kepentingan ibadah shalat, umat Islam mengembangkan ilmu astronomi atau
ilmu falak untuk penentuan arah kiblat dan waktu shalat. Tuntutan ibadah mendorong
kemajuan sains astronomi pada awal sejarah Islam. Kini astronomi telah menjadi
alat bantu utama dalam penentuan arah kiblat dan waktu shalat. Konsepsi
astronomi bola digunakan untuk penentuan arah kiblat. Perhitungan posisi
matahari digunakan untuk mencari waktu istimewa dalam penentuan arah kiblat dan
jadwal shalat harian. Kita cukup melihat jadwal shalat, tidak lagi direpotkan
harus melihat langsung fenomena cahaya matahari atau bayangannya setiap akan
shalat. Kini semua umat Islam Indonesia, apa pun ormasnya, secara umum bisa
bersepakat dengan kriteria astronomis dalam penyusunan jadwal shalat.
Inspirasi
pemanfaatan sains dalam ibadah juga diperluas untuk ibadah-ibadah lainnya
terkait dengan penentuan waktu. Penentuan awal Ramadhan dan hari raya kini
sudah banyak memanfaatkan pengetahuan astronomi atau ilmu falak, baik untuk
keperluan perhitungannya (hisab) maupun untuk pengamatannya (rukyat). Penentuan
awal Ramadhan atau hari raya yang kadang berbeda saat ini bukan lagi disebabkan
oleh perbedaan metode hisab dan rukyat, tetapi lebih disebabkan oleh perbedaan
kriteria astronomisnya. Alangkah indahnya kalau pelajaran kesepakatan kriteria
astronomis dalam penentuan jadwal shalat juga diterapkan untuk penentuan awal
Ramadhan dan hari raya sehingga potensi perbedaan dapat dihilangkan. Tanpa
kesepakatan kriteria itu, tahun ini dan beberapa tahun ke depan kita akan
menghadapi lagi persoalan perbedaan awal Ramadhan dan hari raya.
Upaya
menuju titik temu kriteria astronomi sudah mulai dilakukan. Tinggal selangkah
lagi kita bisa mendapatkan kriteria hisab rukyat Indonesia yang mempersatukan
umat. Isra’ mi’raj pun mengajarkan upaya menuju “titik temu” menurut cara
pandang manusiawi antara Allah dan Rasulullah terkait dengan jumlah shalat
wajib yang semula 50 kali menjadi 5 kali sehari semalam. Satu sisi itu
menunjukkan kemurahan Allah, tetapi pada sisi lain kita bisa mengambil
pelajaran bahwa kompromi untuk mencapai titik temu adalah suatu keniscayaan.
Kita tidak boleh memutlakkan pendapat kita seolah tidak bisa berubah, termasuk
untuk mencapai titik temu. Kriteria astronomis hisab rukyat juga bukan sesuatu
yang mutlak, mestinya bisa kita kompromikan untuk mendapatkan kesepakatan ada
ketenteraman dalam beribadah shaum Ramadhan dan ibadah yang terkait dengan hari
raya (zakat fitrah, shalat hari raya, Shaum di bulan Syawal, shaum
Arafah)
Isra’
mi’raj memberikan inspirasi mengintegrasikan sains dalam memperkuat aqidah dan
menyempurnakan ibadah, selain mengingatkan pentingnya shalat lima waktu.
www.dakwatuna.com
1 comments:
salam gan ...
menghadiahkan Pujian kepada orang di sekitar adalah awal investasi Kebahagiaan Anda...
di tunggu kunjungan balik.nya gan !
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Komentar, jangan ada spam, sara, dan pornografi. saya menghormati komentar selain itu..........:)